Judul buku : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pusat Utama
Kota tempat terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2009
Tebal : xiii + 423 halaman
Harga : Rp 50.000,00
Alif
Fikri yang berasal dari Maninjau, Bukittinggi, adalah seorang anak desa
yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya, Randai, memiliki mimpi yang
sama: masuk ke SMA dan melanjutkan studi di ITB, universitas bergengsi
itu. Selama ini mereka bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam.
Mereka merasa sudah cukup menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa
remaja mereka seperti anak-anak remaja lainnya di SMA. Alif mendapat
nilai tertinggi di sekolahnya yang membuatnya merasa akan lebih terbuka
kesempatan untuk Amak (Ibu) memperbolehkannya masuk sekolah biasa, bukan madrasah lagi. Namun Amak
menghapus mimpinya masuk SMA. “Beberapa orang tua menyekolahkan anaknya
ke sekolah agama karena tidak cukup uang untuk masuk ke SMP atau SMA.
Lebih banyak lagi yang memasukkan anaknya ke sekolah agama karena
nilainya tidak cukup. Bagaimana kualitas para buya, ustad, dan dai
tamatan madrasah kita nanti? Bagaimana nasib Islam nanti? Waang punya
potensi yang tinggi. Amak berharap Waang menjadi pemimpin agama yang mampu membina umatnya,” kata Amak yang membuat harapan anaknya masuk SMA pupus.
Dengan
membaca pembuka novel tersebut, dapat dengan mudah kita menerka nuansa
apa yang akan kita rasakan sampai pada selesainya novel ini. Ya, nuansa
Islam. Pembukaan ini merupakan pembukaan yang baik di mana pembaca dapat
berharap banyak dan berimajinasi akan jadi apa Alif ini. Pemimpin
negara? Atau pemimpin besar agama? Sayangnya sampai akhir, penulis
kurang mampu memperlihatkan dinamika dalam cerita. Klimaks cerita kurang
menonjol sehingga pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah
selesai membaca, pembaca akan merasa cerita belum selesai
setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis
mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan tidak ingin
melebih-lebihkannya. Mungkin akan lebih baik jika penulis membuat
konflik-konflik yang lebih tegang atau menuliskan ending yang lebih memukau pembaca.
Gaya
bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat menarik. Ringan,
deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan
berbagai macam bahasa daerah. Di dalam novel ini terdapat bahasa daerah
Maninjau, Medan, Sunda, dan Arab. Tidak tertinggal catatan kaki di
bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan
dan peribahasa juga terdapat dalam penulisannya, seperti “man jadda wajada”
yang paling sering dicantumkan. “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti
berhasil.” Ungkapan-ungkapan seperti ini sangat penting dalam sebuah
novel karena mampu memberikan semacam trade mark yang membuat novel ini lebih terkenang di hati pembaca.
Novel ini menceritakan berbagai kisah sederhana kehidupan di Pondok Madani, pesantren modern
yang akhirnya menampung Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan
pengajaran-pengajaran PM yang sederhana namun mengena. PM berbeda
dengan sekolah agama lainnya karena di sini para murid dilatih untuk
menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai ilmu dari sudut
pandang Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari
hukuman. PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya.
Biarpun
masuk karena terpaksa, namun Alif mulai menyukai kehidupan di pondok.
Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya dengan Sahibul
Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman lainnya –
yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani. Mereka
adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat yang dijalin
bersama sangat cukup menjadi penghiburan bagi Alif. Tapi di satu sisi
ada kegelisahan mengetahui teman baiknya – Randai – sudah masuk SMA
terbaik yang pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA
dengan penuh tawa, dan dengan bahagia berhasil merebut impian mereka
tertinggi: masuk universitas di ITB. Pertanyaan “jadi apa aku nanti?”
terus terngiang dalam kepalanya mengingat ijazah PM tidak diakui
walaupun sangat diakui di luar negeri.
Satu
lagi kelebihan novel ini. Pembaca tidak akan bosan membaca kehidupan di
pondok karena penulis rupaya menggunakan alur campuran. Ia memulai
cerita dengan mengambil setting Alif yang sudah bekerja lalu mulai masuk
ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya dulu di Pondok Madani.
Setelah cukup panjang menceritakan tentang pondok, ia mulai beralih lagi
ke kehidupan Alif masa sekarang.
Novel
ini dapat menjadi satu pengharapan bagi Indonesia, setidaknya masih ada
pemuda di luar sana yang rela memberikan dirinya dipakai masa depan.
Bukan menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan.
Merupakan satu penghiburan bahwa masih ada orang-orang yang
sungguh-sungguh rela belajar dan mengasah diri untuk dapat memberikan
sumbangsih pada dunia, terutama pada tanah airnya sendiri. Namun novel
ini juga dapat menjadi kisah yang mengiris hati karena menyadarkan kita
bahwa hampir tidak ada generasi muda yang seperti itu, bahkan mungkin..
Termasuk kita sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar