Jumat, 25 Januari 2013

The Return of Prodigal Son



Sebastian Giovinco  (Getty Images)
“I would like to wear No. 10 Jersey at Juventus.” Kalimat tersebut diucapkan pemuda plontos dengan tinggi badan yang hanya nyaris mencapai 165 cm. Sebastian Giovinco namanya, dua tahun berguru di Ennio Tardini dirasa cukup bagi sang anak hilang untuk kembali ke pangkuan Si Nyonya Tua, Juventus. Dalam dunia persepakbolaan Italia, nomor punggung yang kerap diibaratkan sebagai simbol sang bandiera klub tersebut memang bukan sembarang nomor. Bila pemain tersebut tidak mempunyai “arti” lebih untuk klub, setidaknya pemain tersebut punya jiwa “fantasista” dan mempunyai skill di atas rata-rata.
Tentu nomor keramat tersebut sangat diidam-idamkan oleh seluruh pesepak bola di dunia, tak terkecuali bibit-bibit pesepak bola masa depan yang masih berkutat dengan mimpi menginjak ranah profesional dengan jadwal latihan yang ketat.
Klub Italia utara, Brescia masih menganut kedua paham tersebut. Empat tahun kebersamaan yang terjalin dengan legenda Italia, Robby Baggio. Membuat klub yang kini berjuang di Serie B tersebut memilih untuk memensiunkan bekas nomor pemain berjuluk Divine Ponytail tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada pria yang mengalami masa jaya dan remuknya karier di medio 1990-an tersebut.
Sepaham dengan Brescia, Napoli juga memensiunkan nomor 10 yang dikenakan Si Gempal Maradona setelah ia berhasil membayar hingga sen terakhir dari 6,9 juta pound yang dirogoh Il Partenopei dengan raihan dua scudetto, satu Piala Uefa, dan satu Piala Super Italia.
Dua contoh di atas merupakan gambaran bagaimana sakralnya nomor 10 bagi klub, at least for the player himself.

Memang ada anggapan yang menyebutkan tidak boleh ada seorang pesepak bola yang lebih besar dari keeksistensian klub. Bila kita mengaitkan pendapat tersebut dengan kekeramatan nomor 10 bagi beberapa klub di Italia, maka kita bisa menyatakan tindakan nyeleneh kiper Chievo era 2004, Cristiano Lupatelli yang memakai nomor 10 di Marc Antonio Bentegodi sebagai tindakan yang sah-sah saja, toh?.
The Aftermath: Giovinco dan Beban Nomor 10
Juventus yang kembali memulangkan si prodigal son (anak yang hilang) kini harus menemui dilema karena pemain berjuluk Atomic Ant meminta nomor 10 di Juventus Stadium meski permintaan tersebut tidak harus dikabulkan dalam jangka waktu yang dekat.
Mayoritas fan Juventus tentu gedek membaca pernyataan jebolan primavera Juventus tersebut. Teman saya yang juga Juventini, sampai berkata “Ini pemain banyak banget maunya deh. Padahal bawa Juventus juara saja belum!”
Nomor punggung yang dibidik Gio memang bukan nomor sembarangan. Bila jadi memakai nomor 10, pemain yang sempat mengecap masa pinjamannya di Empoli selama setahun itu bakal langsung dibanding-bandingkan dengan sang maskot klub yang tak lagi membela Juventus musim depan, Alessandro Del Piero.
Ya, tujuh tahun berlalu sejak debut Alex menyandang nomor dieci di punggungnya, semua kejayaan dan kegetiran sudah dilalui pemain kelahiran Conegliano itu. You name it, he has probably done it.
Sebelum Alex, ada Roberto Baggio, Michel Platini, dan Liam Brady. Bila melongok ke list sejarah pemilik nomor 10 di Juventus, Gio memang pantas bergidik merinding karena harus memenuhi ekspektasi para fan yang selalu menuntut pemegang nomor 10 sebagai pemain yang dapat berbuat sesuatu di lapangan.
Melihat beberapa fakta di atas akhirnya sampailah kita kepada pertanyaan “Bisa apa Giovinco di Juventus?”.  Hubungan Gio dengan Juventus ibarat roller coaster, terkadang bisa mencapai titik tertinggi, tapi dalam sekejap dapat menyentuh titik terendah. Pemain yang mengguncang media Italia pada 2004 dengan tendangan freekick yang disebut-sebut mirip dengan tendangan bebas a la Ronaldinho di Piala Dunia 2002 menyebut Juventus sebagai tambatan hatinya.
Namun, ketika kesempatan bermain jarang didapat, Gio menyebut Juventus menyia-nyiakan bakatnya dan memilih Juventus sebagai opsi terakhir klub yang ingin dibelanya. Kini 11 juta euro telah digelontorkan Juventus untuk membayar separuh hak Gio yang dimiliki Parma. Juventus dan Gio kini kembali bersatu, ini mungkin menjadi kesempatan terakhir pemain dengan 10 cap bersama timnas Italia tersebut untuk membuktikan kelayakannya memakai nomor 10 di Juventus.
Nasib Sang Anak Hilang
Secara Taktikal
Meski sempat disebut-sebut pelunasan status co-own Gio sebagai alat tukar guling dengan pemain lain, transfer guru Juventus, Giuseppe Marotta, menyebutkan manajer Antonio Conte benar-benar menginginkannya.
Conte tampaknya tahu benar kelemahan di departemen penyerangan Juventus. Sungguh ajaib memang, Juventus menjuarai Serie A musim 2011/12 dengan rataan gol penyerang yang hanya 5 gol per attacante. Banyak kritikus menyebut di Juventus tidak mempunyai seorang trequartista sehingga mampetnya aliran ke striker utama.
Bukan, Mirko Vucinic bukan seorang trequartista. Di lain pihak Conte ingin mengurangi ketergantungan Juventus pada Del Piero.
Giovinco merupakan potongan puzzle yang dicari-cari Juventus selama ini. Gio bisa masuk ke dalam skema favorit Conte yang baru, 3-5-2 dengan berperan sebagai penyerang lubang. Bila Conte berhasrat kembali ke formasi andalannya di Siena yaitu 4-2-4, maka Gio juga bisa masuk dalam rencana Conte dengan mengisi posisi yang sama seperti di pola 3-5-2. Satu-satunya formasi yang tidak ideal bagi Gio hanyalah 4-3-3. Percayalah, menaruh Seba di sayap kiri bukanlah ide yang bagus.
Secara Peluang
Conte dikenal sebagai pribadi yang kukuh dan sangat percaya dengan etos kerja keras. Saya jadi ingat pendapat seorang jurnalis yang berkomentar tentang mantan manajer Siena tersebut semasa masih aktif bermain.
“He worked as hard as anybody out on the pitch, running his tail off for the entire 90 minutes. Conte was nothing but pure grit and determination.”
Etos kerja tersebut masih dipraktekannya hingga kini di Juventus. Semusim di Vinovo, Conte telah membuktikan jika pemain berlatih keras di sesi latihan, memahami taktik, dan rela memberikan seluruh kemampuan demi kemenangan di atas lapangan, maka kesempatan menjadi pemain inti bakal terbuka. Tak ayal pemain seperti Milos Krasic dan Eljero Elia yang kurang dalam sisi kemauan dan kesanggupan membantu lini pertahanan tak digubris Conte selama semusim.
Pria asli Lecce tersebut lebih memilih pemain dengan skill standar seperti Simone Pepe dan Emanuelle Giaccherini yang mau memberi “lebih” di lapangan. Kelebihan itu adalah kemauan berlari, berlari, dan terus berlari hingga peluit berakhir.
Berkaca dengan nasib Elia dan Krasic, maka berkembanglah pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, “Bisakah Giovinco langsung menjadi tim inti di Juventus?”
Menarik, karena Gio pernah mengeluarkan statement ini.
"Jika harus kembali ke Juventus, saya hanya ingin diperlakukan sama dengan yang lain," papar Giovinco.
Di bawah kendali Conte, Giovinco bakal mendapatkan treatment yang sama didapatkan oleh semua pemain. Ya, termasuk dengan porsi latihan taktis dan fisiknya.
Semua pemain hebat tak terkecuali Pele dan Maradona melakukan kerja keras dan menelan ratusan kritik negatif dari para fan sebelum menjadi pesepak bola yang handal. Kini kesempatan terakhir Sebastian Giovinco untuk membuktikannya dan membawa Juventus ke level tertinggi.

sumber
Giovinco, are you ready?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar