Dalam kehidupan
sehari-hari saya seringkali menemukan penggunaan bahasa Indonesia yang
keliru. Yang sebenarnya tampak sepele tapi menurut saya berisiko besar
dalam membunuh budaya berbahasa yang baik dan benar, yang seharusnya
ditularkan kepada anak cucu kita kelak. Saya mungkin bukan mahasiswa
jurusan sastra Indonesia, tapi saya ingin mencoba membantu memaparkan
contoh-contoh penggunaan bahasa yang salah dan menyalahi kaidah bahasa
Indonesia, dan sudah terlanjur menjadi budaya umum…
PENGGUNAAN “DI-“ (IMBUHAN) DAN “DI” (KATA DEPAN) YANG TERTUKAR
PENGGUNAAN “DI-“ (IMBUHAN) DAN “DI” (KATA DEPAN) YANG TERTUKAR
Inilah
bentuk kekeliruan berbahasa yang paling sering saya jumpai, terutama
dalam pesan stiker di tempat umum, maupun papan pengumuman. Misal:
“Cetak Foto Gratis Di Foto, Cuma Disini!” atau, “Harap Di Simpan Kembali
Ditempatnya” atau, “Di Jual Rumah Bla Bla Bla” atau, “Di Larang Buah
Sampah Disinih (buset, pake H pula!)”
Padahal yang benar adalah, kata di
yang menunjukkan tempat, dipisahkan dengan nama tempat yang
mengikutinya. Tempat di sini tidak selalu mutlak nama tempat, intinya
menunjukkan posisi, sekalipun bersifat fiktif. Contoh kalimat gombal
semacam, “Kau selalu di hatiku!” Meski si “kau” itu tidak benar-benar
ada “di hatiku”, tapi taruhlah “hatiku” itu adalah sebuah tempat yang
sifatnya abstrak. Cara mengingat penggunaan di ini sebenarnya
mudah saja selama kita bisa mengasosiasikan sebuah kata sebagai
keterangan tempat. Atau ambillah contoh kata “di Jakarta”, mustahil kan
ditulis “dijakarta” (kalau sampai ditulis begitu sih, tandanya penyakit
berbahasa kita sudah stadium 4!) Jadi asumsikan sebuah kata keterangan
tempat itu seperti “Jakarta” itu tadi, meskipun sifatnya fiktif.
Sementara imbuhan di-
seharusnya digabung dengan kata kerja yang mengikutinya, karena kata
itu menjadi predikat dalam kalimat pasif. Misal, “dijual”, “dilarang”,
“disimpan”, dan kata lain yang murni tidak menunjukkan tempat. Sejak
kapan ada kota bernama Jual atau Larang?
Nah, saya harap teman-teman meniru saya: merasa sesak bila ada kalimat minor yang mempertukarkan fungsi di dengan di- (busyet, pede gila si Vian!) Yah, tidak perlu meniru juga sih, tapi setidak-tidaknya kita semua mau belajar untuk bisa membedakan.
PENULISAN SINGKATAN DAN AKRONIM
Singkatan
merupakan perpendekan serangkaian kata ke dalam bentuk beberapa huruf.
Kata-kata yang dimaksud biasanya merujuk kepada nama lembaga, bidang
studi, nama tempat, atau istilah. Umumnya huruf-huruf yang membentuknya
adalah huruf-huruf awal dari kata-kata tersebut. Cara membacanya pun
beragam, tergantung huruf-huruf yang membentuknya. Misal, “IPA” akan
diucapkan “I-Pa” karena memiliki huruf vokal “A” di belakang . Rasanya
kita jarang sekali mendengar orang menyebut “I-P-A”. Namun “IPS” akan
dibaca “I-P-S” karena terdiri dari dua huruf mati atau konsonan yang
mengakhiri singkatan. Mustahil rasanya saat ditanya mengenai jurusan,
orang menjawab, “Saya jurusan Ipssss!”
Tapi
masyarakat kita seringkali mengasosiasikan akronim sebagai singkatan.
Meski fungsinya sama-sama sebagai penyingkat, tapi akronim memiliki
bentuk yang berbeda dengan singkatan. Akronim dibentuk dari kumpulan
suku kata dari kata-kata yang disingkatnya. Nah, faktor terpenting yang
membedakan singkatan dan akronim adalah penggunaan huruf besar dan
kecil. Akronim cenderung ditulis sebagaimana layaknya nama lembaga atau
orang: diawali huruf besar, sisanya huruf kecil. Dan membacanya tidak
pernah dengan cara mengeja, melainkan selalu mengucapkannya seperti
membaca kata biasa. Misal, “Depdagri”.
Nah,
lantas apa yang menjadi salah kaprah? Ya itu tadi, penyalahgunaan huruf
besar dan kecil. Masyarakat cenderung menuliskan akronim dengan huruf
besar semua. Misal, “Saya kuliah di UNPAK.” Padahal yang betul
seharusnya, “Saya kuliah di Unpak.” Karena setiap huruf dalam kata
“Unpak” bukan penyingkat. Yang menjadi penyingkat adalah suku kata “Un”
dan “Pak”.
Oya,
satu hal yang terpenting, jangan menggunakan sistem CamelCase dalam
akronim, ya. Contoh “Unpak”, jangan ditulis “UnPak”, meskipun bila
ditulis tanpa disingkat, huruf P pada “Pakuan” menggunakan huruf besar.
PENYALAHGUNAAN HURUF KAPITAL
Pernah
nonton Uya Emang Kuya? Selain terkenal dengan aksi hipnotisnya (yang
kemungkinan besar hoax), yang menjadi daya tarik adalah munculnya balon
kata yang seolah adalah kalimat yang dipikirkan para saksi di sana.
Sepintas memang kocak, saya suka tergelak dibuatnya, tapi di sisi lain
saya suka miris melihat bentuk penulisan kalimatnya yang sangat jauh
dari kesan rapi. Sangat asal-asalan. Sudah tidak dibubuhi tanda baca,
setiap kata diawali huruf besar pula. Padahal bukan nama judul.
Kalimat
dengan setiap kata yang diawali huruf besar seharusnya berlaku untuk
judul, baik judul buku, film, sinetron, dan lain-lain. Dan itu pun ada
pengecualian untuk kata-kata tertentu yang disebut konjungsi. Yah, saya
tidak hafal persis seluruh bentuk konjungsi yang ada. Yang saya ingat
antara lain: di, ke, dari, dengan, yang, karena, tentang, agar, dan, untuk, adalah, atau, ketika, dan dalam (untuk
lebih spesifiknya lihat saja
http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Konjungsi). Dan lagi-lagi
ada pengecualian untuk “yang”. Huruf Y pada kata “yang” ditulis besar
dalam kalimat, “Tuhan Yang Maha Esa” dan kalimat lain sebangsanya. So,
jangan tiru editor Uya Emang Kuya yang kerjanya asal jadi, yaaa… (maaf
lho, Pak Editor)!
PENYALAHGUNAAN BEBERAPA KATA
Ubah atau Rubah?
“Kau boleh acuhkan diriku… dan anggap ku tak ada… tapi takkan merubah…”
Sebuah petikan lagu yang sangat indah dari seorang Once. Saya pun suka.
Tapi kata “merubah” itu lho… mengganjal sekali! Mana sudah terlanjur
“diakui” menjadi karya seni pula, huft….
Yah,
akuilah kalau kita cenderung menggunakan kata “merubah” atau “dirubah”
dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin “kambing hitam”-nya adalah kata
“berubah” yang sudah sangat familiar di telinga kita. Sehingga tanpa
sadar kita kebiasaan menerapkannya juga dalam imbuhan me- dan di-.
Padahal
yang paling tepat adalah “mengubah” dan “diubah”. Karena kata dasarnya
adalah “ubah”. Coba deh, cari kata “rubah” di kamus. Pasti definisinya
mengenai sejenis hewan dan tak ada sangkut-pautnya dengan “rubah” yang
kita maksud. Mungkin bisa dimaafkan bila kita keceplosan menggunakan
kedua kata yang salah kaprah itu dalam percakapan sehari-hari, tapi
jangan sampai “keceplosan” menggunakannya dalam karya tulis, yaaa…!
Tinggali dan Tinggalkan
“Ku mempunyai dua hati yang tak bisa, ‘tuk kutinggali….”
Pasti familiar dong, sama petikan lagu nakal milik T2 ini. Ya,
lagi-lagi ada kesalahkaprahan bahasa yang terlanjur “diakui”. Memang,
dalam beberapa kata, imbuhan belakang –kan dan –i tidak benar-benar sepadan. Contoh, “membubuhkan” dan “membubuhi”. Yang membedakan adalah, kata pertama cenderung merujuk pada apa yang dibubuhkan pada sesuatu, maka kita ambil contoh kalimat: “Saya membubuhkan tanda tangan di kertas”. Sementara pada kata kedua, mengacu pada apa sesuatu yang dibubuhi,
maka bentuk kalimat yang ideal adalah, “Saya membubuhi kertas dengan
tanda tangan”. Mau contoh lain? Oke, misalnya, “memasukkan” berarti si
subjek membuat sesuatu masuk ke dalam sesuatu, sementara “memasuki”
artinya si subjek sendiri yang masuk ke dalam sesuatu.
Nah,
ketahuan dong, kalau petikan syair T2 itu salah besar? Bahkan dari
makna pun sudah berbeda meski kata dasarnya sama. “Kutinggalkan” artinya
si “aku” menjauh dari sesuatu, sementara “kutinggali” berarti “aku”
TINGGAL DI DALAM sesuatu. Mungkin penggunaan kata “kutinggali” ini
dimaksudkan agar senada dengan kata di bait sebelumnya, yakni “dua
hati”. Tapi rasanya nggak usah maksain juga kan, Mas Dodhy? Atau memang
Anda nggak tahu? ***sombong***
Kau-
“Kau”
adalah salah satu bentuk kata ganti orang kedua tunggal. Yang menjadi
salah kaprah adalah penggunaan kata “kau-” yang diikuti beberapa kata
kerja tertentu. Sama seperti “ku-”, kata “kau-” seharusnya digabung
dengan kata kerja yang mengikutinya. Misal, “kaupikir”, “kauambil”,
“kaurasakan”, atau “kausimpan”. Tapi hal ini tidak berlaku untuk kata
ganti “kamu”, “Anda”, “sampeyan”, “ente”, “yey”, dan lainnya karena
“kau-” di sini sepadan dengan “ku-” (bukan “aku”).
Geming, Seronok, dan Acuh
Salah
satu penyakit berbahasa yang terparah adalah ketika makna suatu kata
diubah menjadi sangat kontradiktif dengan makna aslinya. Salah satunya
“geming”. Makna asli dari kata ini adalah “bertahan” atau “tetap
pendirian”. Contoh kalimatnya: “Meski sudah dibujuk, saya tetap
bergeming.” Tapi belakangan maknanya diputarbalikkan seratus delapan
puluh derajat menjadi “berubah pendirian”. Contoh kalimat: “Karena
dipaksa sedemikian rupa, akhirnya dia bergeming.”
Di
samping itu, ada juga kata “seronok”. Entah siapa yang menyesatkan arti
kata ini menjadi sangat negatif. Mungkin karena penggalan bunyi kata
“-ronok” yang tidak enak didengar secara verbal, sehingga menimbulkan
kesan bahwa kata “seronok” berarti “tidak sopan” atau “tidak enak
dipandang”. Padahal makna “seronok” justru “sopan” atau “sedap
dipandang”. Jadi, salah besar kalau ada yang bilang, “Pakaian pelacur
itu seronok sekali!”
Terakhir,
ada lagi kata yang maknanya seenaknya dibolak-balik laksana martabak
emih. Yakni “acuh”. Seperti kata “seronok”, mungkin bunyi kata “-cuh”
itu yang menimbulkan asumsi salah mengenai makna kata “acuh”. Pernah
saya menemui kalimat, “Saya sakit hati karena ucapan saya diacuhkan.”
Lha, ucapan diacuhkan kok sakit hati, sih? Harusnya senang dong, karena
artinya ucapan tersebut DIPEDULIKAN!
BAHASA SLANG YANG MENYALAHI KAIDAH BAHASA
Apakah
itu? “Secara”! Ya, sudah lama saya mendapati kata “secara” yang
digunakan tidak sesuai dengan maknanya. Misal, “Secara gue kan ganteng!”
atau, “Secara Vian kan sok tahu!” atau, “Kamu pasti menang, secara kan
kamu hebat!”
Memang
sih, sepintas penggunaan kata ini terdengar keren dan gahol, eh, gaul.
Saya sendiri tidak menyalahkan penggunaan bahasa slang yang sudah
mendesak penggunaan bahasa Indonesia baku. Saya juga tidak keberatan
dengan istilah-istilah gaul yang menggantikan istilah aslinya, misal
“sendiri” jadi “sendokir”, “cemburu” jadi “cembokur”, “berlebihan” jadi
“lebay”, dan lain-lain.
Tapi
kalau kata yang sudah terdaftar dalam KBBI dilencengkan maknanya, itu
salah besar, kawan! “Secara” itu sudah jelas maknanya: dengan cara.
Misal, “Masukkan secara pelan-pelan,” (jangan ngeres yaaa) atau,
“Berbicaralah secara langsung dengannya.”
Lebih
menyebalkan lagi, kata “secara” yang salah ini sempat menjadi semboyan
iklan. “Secara tumbuh tuh ke ataaaaaas, nggak ke sampiiiiing!” Album
pertama Emmy Labib juga berjudul “Secara Aku Wanita”.
Saya
sendiri sempat tergoda untuk ikut mengembangbiakkan kata ini, dan
menerapkannya dalam karya tulis saya. Tapi untung saya sebisa mungkin
menghindarinya.
PENULISAN KATA SERAPAN BAHASA ASING
Yang
paling umum adalah kekeliruan penggunaan huruf F dalam beberapa istilah
serapan, yang seharusnya menggunakan huruf V. Misal, “aktifitas”
seharusnya “aktivitas”, atau “kreatifitas” seharusnya “kreativitas”.
Penggunaan huruf F hanya digunakan saat kata-kata jenis tersebut dituis
sebagai kata sifat, dengan kata lain saat akhiran “-itas”-nya
dihilangkan, yakni “aktif” dan “kreatif”.
Dalam
bahasa Indonesia, beberapa istilah serapan dari bahasa asing memiliki
versi sendiri. Secara pengucapan mungkin sama atau hampir sama, tapi
penulisannya berbeda. Tapi tetap saja ada yang belibet dalam
menuliskan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Misal, “fotokopi”,
seringkali ditulis “fotocopy”. Nanggung, bukan? Kalaupun memang mau
menggunakan versi asli, ya tulis saja “photocopy”. Jangan
dicampuradukkan seperti gado-gado, oke?
Beberapa
istilah asing lain juga sebenarnya punya versi dalam bahasa kita. Misal
“pizza”, dalam bahasa kita ditulis “piza”, dengan satu Z. Tapi lantaran
orang Indo tahunya “pizza”, tak masalah bila kita tulis dengan dua Z.
Daripada dianggap norak, hehe. Tapi alangkah baiknya bila tulisan
“pizza” dicetak miring agar pembaca tahu bahwa nama itu berasal dari
bahasa asing.
Nah,
itu baru segelintir dari seluruh kesalahan tata bahasa yang sudah
terlanjur menjadi kebiasaan masyarakat kita. Kalau sampai kebiasaan ini
mendarah daging dalam diri anak cucu kita kelak, wah, bahaya tuh!
Bisa-bisa bahasa Indonesia yang baku benar-benar musnah di kemudian
hari.
Memahami
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional memang suatu keharusan.
Tapi jangan sampai jadikan hal itu sebagai alasan untuk bergaya sok
keinggris-inggrisan. Kalau masyarakat Indonesia sendiri banyak keliru
dalam menggunakan bahasa Indonesia, wah, lantas siapa yang harus
melestarikan bahasa nasional kita ini? Orang Amerika? Orang Malaysia?
Orang Zimbabwe? Tidak mungkin, bukan?
Semoga
tulisan saya bisa membantu kawan-kawan dalam membenahi kebiasaan
berbahasa kita. Di sisi lain, saya sadar dalam tulisan saya sendiri pun
pasti masih mengandung kesalahan tata bahasa. Jadi tolong dimaklumi yah,
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Bagaimana
dengan bahasa alay? Nah, saya juga tidak menuntut teman-teman untuk
berhenti berbicara alay. Anggap saja sebuah tren atau gaya hidup baru.
Asal kita harus tahu situasi dan kondisinya. Nggak mungkin kan,
menggunakan bahasa @L4y dalam skripsi? (y@ n6g4k mUn6k!nL@h, g1L4 4j@ L0, V!4n!)
Tambahan:
Oya, satu hal yang
terluput dari tulisan saya, yakni tata bahasa dalam soal ujian pun
banyak mengandung kekeliruan. Waktu saya masih sekolah dulu penulisan
soal di lembar soal ujian semester sangat jauh dari kesan rapi. Baik
dari segi penulisan kata maupun pembubuhan tanda baca. Ditambah beberapa
kesalahan ketik. Yah, memang sih yang menulisnya adalah para guru di
bidang studi yang bersangkutan. Tapi kan guru-guru itu orang
berpendidikan, figur yang berperan besar dalam ranah pendidikan.
Meskipun tidak semuanya guru bahasa Indonesia, paling tidak paham
sedikit banyaklah tentang tata bahasa yang baik dan benar. Mohon
dipertimbangkan yah, Pak, Bu. Maaf kalau saya lancang :).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar