Kamis, 05 Juli 2012

Kesalahan Tata Bahasa yang Bikin Sesak Dada

Dalam kehidupan sehari-hari saya seringkali menemukan penggunaan bahasa Indonesia yang keliru. Yang sebenarnya tampak sepele tapi menurut saya berisiko besar dalam membunuh budaya berbahasa yang baik dan benar, yang seharusnya ditularkan kepada anak cucu kita kelak. Saya mungkin bukan mahasiswa jurusan sastra Indonesia, tapi saya ingin mencoba membantu memaparkan contoh-contoh penggunaan bahasa yang salah dan menyalahi kaidah bahasa Indonesia, dan sudah terlanjur menjadi budaya umum…
PENGGUNAAN “DI-“ (IMBUHAN) DAN “DI” (KATA DEPAN) YANG TERTUKAR
Inilah bentuk kekeliruan berbahasa yang paling sering saya jumpai, terutama dalam pesan stiker di tempat umum, maupun papan pengumuman. Misal: “Cetak Foto Gratis Di Foto, Cuma Disini!” atau, “Harap Di Simpan Kembali Ditempatnya” atau, “Di Jual Rumah Bla Bla Bla” atau, “Di Larang Buah Sampah Disinih (buset, pake H pula!)”
Padahal yang benar adalah, kata di yang menunjukkan tempat, dipisahkan dengan nama tempat yang mengikutinya. Tempat di sini tidak selalu mutlak nama tempat, intinya menunjukkan posisi, sekalipun bersifat fiktif. Contoh kalimat gombal semacam, “Kau selalu di hatiku!” Meski si “kau” itu tidak benar-benar ada “di hatiku”, tapi taruhlah “hatiku” itu adalah sebuah tempat yang sifatnya abstrak. Cara mengingat penggunaan di ini sebenarnya mudah saja selama kita bisa mengasosiasikan sebuah kata sebagai keterangan tempat. Atau ambillah contoh kata “di Jakarta”, mustahil kan ditulis “dijakarta” (kalau sampai ditulis begitu sih, tandanya penyakit berbahasa kita sudah stadium 4!) Jadi asumsikan sebuah kata keterangan tempat itu seperti “Jakarta” itu tadi, meskipun sifatnya fiktif.
Sementara imbuhan di- seharusnya digabung dengan kata kerja yang mengikutinya, karena kata itu menjadi predikat dalam kalimat pasif. Misal, “dijual”, “dilarang”, “disimpan”, dan kata lain yang murni tidak menunjukkan tempat. Sejak kapan ada kota bernama Jual atau Larang?
Nah, saya harap teman-teman meniru saya: merasa sesak bila ada kalimat minor yang mempertukarkan fungsi di dengan di- (busyet, pede gila si Vian!) Yah, tidak perlu meniru juga sih, tapi setidak-tidaknya kita semua mau belajar untuk bisa membedakan.

PENULISAN SINGKATAN DAN AKRONIM
Singkatan merupakan perpendekan serangkaian kata ke dalam bentuk beberapa huruf. Kata-kata yang dimaksud biasanya merujuk kepada nama lembaga, bidang studi, nama tempat, atau istilah. Umumnya huruf-huruf yang membentuknya adalah huruf-huruf awal dari kata-kata tersebut. Cara membacanya pun beragam, tergantung huruf-huruf yang membentuknya. Misal, “IPA” akan diucapkan “I-Pa” karena memiliki huruf vokal “A” di belakang . Rasanya kita jarang sekali mendengar orang menyebut “I-P-A”. Namun “IPS” akan dibaca “I-P-S” karena terdiri dari dua huruf mati atau konsonan yang mengakhiri singkatan. Mustahil rasanya saat ditanya mengenai jurusan, orang menjawab, “Saya jurusan Ipssss!”
Tapi masyarakat kita seringkali mengasosiasikan akronim sebagai singkatan. Meski fungsinya sama-sama sebagai penyingkat, tapi akronim memiliki bentuk yang berbeda dengan singkatan. Akronim dibentuk dari kumpulan suku kata dari kata-kata yang disingkatnya. Nah, faktor terpenting yang membedakan singkatan dan akronim adalah penggunaan huruf besar dan kecil. Akronim cenderung ditulis sebagaimana layaknya nama lembaga atau orang: diawali huruf besar, sisanya huruf kecil. Dan membacanya tidak pernah dengan cara mengeja, melainkan selalu mengucapkannya seperti membaca kata biasa. Misal, “Depdagri”.
Nah, lantas apa yang menjadi salah kaprah? Ya itu tadi, penyalahgunaan huruf besar dan kecil. Masyarakat cenderung menuliskan akronim dengan huruf besar semua. Misal, “Saya kuliah di UNPAK.” Padahal yang betul seharusnya, “Saya kuliah di Unpak.” Karena setiap huruf dalam kata “Unpak” bukan penyingkat. Yang menjadi penyingkat adalah suku kata “Un” dan “Pak”.
Oya, satu hal yang terpenting, jangan menggunakan sistem CamelCase dalam akronim, ya. Contoh “Unpak”, jangan ditulis “UnPak”, meskipun bila ditulis tanpa disingkat, huruf P pada “Pakuan” menggunakan huruf besar.
PENYALAHGUNAAN HURUF KAPITAL
Pernah nonton Uya Emang Kuya? Selain terkenal dengan aksi hipnotisnya (yang kemungkinan besar hoax), yang menjadi daya tarik adalah munculnya balon kata yang seolah adalah kalimat yang dipikirkan para saksi di sana. Sepintas memang kocak, saya suka tergelak dibuatnya, tapi di sisi lain saya suka miris melihat bentuk penulisan kalimatnya yang sangat jauh dari kesan rapi. Sangat asal-asalan. Sudah tidak dibubuhi tanda baca, setiap kata diawali huruf besar pula. Padahal bukan nama judul.
Kalimat dengan setiap kata yang diawali huruf besar seharusnya berlaku untuk judul, baik judul buku, film, sinetron, dan lain-lain. Dan itu pun ada pengecualian untuk kata-kata tertentu yang disebut konjungsi. Yah, saya tidak hafal persis seluruh bentuk konjungsi yang ada. Yang saya ingat antara lain: di, ke, dari, dengan, yang, karena, tentang, agar, dan, untuk, adalah, atau, ketika, dan dalam (untuk lebih spesifiknya lihat saja http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Konjungsi). Dan lagi-lagi ada pengecualian untuk “yang”. Huruf Y pada kata “yang” ditulis besar dalam kalimat, “Tuhan Yang Maha Esa” dan kalimat lain sebangsanya. So, jangan tiru editor Uya Emang Kuya yang kerjanya asal jadi, yaaa… (maaf lho, Pak Editor)!
PENYALAHGUNAAN BEBERAPA KATA
Ubah atau Rubah?
“Kau boleh acuhkan diriku… dan anggap ku tak ada… tapi takkan merubah…” Sebuah petikan lagu yang sangat indah dari seorang Once. Saya pun suka. Tapi kata “merubah” itu lho… mengganjal sekali! Mana sudah terlanjur “diakui” menjadi karya seni pula, huft….
Yah, akuilah kalau kita cenderung menggunakan kata “merubah” atau “dirubah” dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin “kambing hitam”-nya adalah kata “berubah” yang sudah sangat familiar di telinga kita. Sehingga tanpa sadar kita kebiasaan menerapkannya juga dalam imbuhan me- dan di-.
Padahal yang paling tepat adalah “mengubah” dan “diubah”. Karena kata dasarnya adalah “ubah”. Coba deh, cari kata “rubah” di kamus. Pasti definisinya mengenai sejenis hewan dan tak ada sangkut-pautnya dengan “rubah” yang kita maksud. Mungkin bisa dimaafkan bila kita keceplosan menggunakan kedua kata yang salah kaprah itu dalam percakapan sehari-hari, tapi jangan sampai “keceplosan” menggunakannya dalam karya tulis, yaaa…!
Tinggali dan Tinggalkan
“Ku mempunyai dua hati yang tak bisa, ‘tuk kutinggali….” Pasti familiar dong, sama petikan lagu nakal milik T2 ini. Ya, lagi-lagi ada kesalahkaprahan bahasa yang terlanjur “diakui”. Memang, dalam beberapa kata, imbuhan belakang –kan dan –i tidak benar-benar sepadan. Contoh, “membubuhkan” dan “membubuhi”. Yang membedakan adalah, kata pertama cenderung merujuk pada apa yang dibubuhkan pada sesuatu, maka kita ambil contoh kalimat: “Saya membubuhkan tanda tangan di kertas”. Sementara pada kata kedua, mengacu pada apa sesuatu yang dibubuhi, maka bentuk kalimat yang ideal adalah, “Saya membubuhi kertas dengan tanda tangan”. Mau contoh lain? Oke, misalnya, “memasukkan” berarti si subjek membuat sesuatu masuk ke dalam sesuatu, sementara “memasuki” artinya si subjek sendiri yang masuk ke dalam sesuatu.
Nah, ketahuan dong, kalau petikan syair T2 itu salah besar? Bahkan dari makna pun sudah berbeda meski kata dasarnya sama. “Kutinggalkan” artinya si “aku” menjauh dari sesuatu, sementara “kutinggali” berarti “aku” TINGGAL DI DALAM sesuatu. Mungkin penggunaan kata “kutinggali” ini dimaksudkan agar senada dengan kata di bait sebelumnya, yakni “dua hati”. Tapi rasanya nggak usah maksain juga kan, Mas Dodhy? Atau memang Anda nggak tahu? ***sombong***
Kau-
“Kau” adalah salah satu bentuk kata ganti orang kedua tunggal. Yang menjadi salah kaprah adalah penggunaan kata “kau-” yang diikuti beberapa kata kerja tertentu. Sama seperti “ku-”, kata “kau-” seharusnya digabung dengan kata kerja yang mengikutinya. Misal, “kaupikir”, “kauambil”, “kaurasakan”, atau “kausimpan”. Tapi hal ini tidak berlaku untuk kata ganti “kamu”, “Anda”, “sampeyan”, “ente”, “yey”, dan lainnya karena “kau-” di sini sepadan dengan “ku-” (bukan “aku”).
Geming, Seronok, dan Acuh
Salah satu penyakit berbahasa yang terparah adalah ketika makna suatu kata diubah menjadi sangat kontradiktif dengan makna aslinya. Salah satunya “geming”. Makna asli dari kata ini adalah “bertahan” atau “tetap pendirian”. Contoh kalimatnya: “Meski sudah dibujuk, saya tetap bergeming.” Tapi belakangan maknanya diputarbalikkan seratus delapan puluh derajat menjadi “berubah pendirian”. Contoh kalimat: “Karena dipaksa sedemikian rupa, akhirnya dia bergeming.”
Di samping itu, ada juga kata “seronok”. Entah siapa yang menyesatkan arti kata ini menjadi sangat negatif. Mungkin karena penggalan bunyi kata “-ronok” yang tidak enak didengar secara verbal, sehingga menimbulkan kesan bahwa kata “seronok” berarti “tidak sopan” atau “tidak enak dipandang”. Padahal makna “seronok” justru “sopan” atau “sedap dipandang”. Jadi, salah besar kalau ada yang bilang, “Pakaian pelacur itu seronok sekali!”
Terakhir, ada lagi kata yang maknanya seenaknya dibolak-balik laksana martabak emih. Yakni “acuh”. Seperti kata “seronok”, mungkin bunyi kata “-cuh” itu yang menimbulkan asumsi salah mengenai makna kata “acuh”. Pernah saya menemui kalimat, “Saya sakit hati karena ucapan saya diacuhkan.” Lha, ucapan diacuhkan kok sakit hati, sih? Harusnya senang dong, karena artinya ucapan tersebut DIPEDULIKAN!
BAHASA SLANG YANG MENYALAHI KAIDAH BAHASA
Apakah itu? “Secara”! Ya, sudah lama saya mendapati kata “secara” yang digunakan tidak sesuai dengan maknanya. Misal, “Secara gue kan ganteng!” atau, “Secara Vian kan sok tahu!” atau, “Kamu pasti menang, secara kan kamu hebat!”
Memang sih, sepintas penggunaan kata ini terdengar keren dan gahol, eh, gaul. Saya sendiri tidak menyalahkan penggunaan bahasa slang yang sudah mendesak penggunaan bahasa Indonesia baku. Saya juga tidak keberatan dengan istilah-istilah gaul yang menggantikan istilah aslinya, misal “sendiri” jadi “sendokir”, “cemburu” jadi “cembokur”, “berlebihan” jadi “lebay”, dan lain-lain.
Tapi kalau kata yang sudah terdaftar dalam KBBI dilencengkan maknanya, itu salah besar, kawan! “Secara” itu sudah jelas maknanya: dengan cara. Misal, “Masukkan secara pelan-pelan,” (jangan ngeres yaaa) atau, “Berbicaralah secara langsung dengannya.”
Lebih menyebalkan lagi, kata “secara” yang salah ini sempat menjadi semboyan iklan. “Secara tumbuh tuh ke ataaaaaas, nggak ke sampiiiiing!” Album pertama Emmy Labib juga berjudul “Secara Aku Wanita”.
Saya sendiri sempat tergoda untuk ikut mengembangbiakkan kata ini, dan menerapkannya dalam karya tulis saya. Tapi untung saya sebisa mungkin menghindarinya.
PENULISAN KATA SERAPAN BAHASA ASING
Yang paling umum adalah kekeliruan penggunaan huruf F dalam beberapa istilah serapan, yang seharusnya menggunakan huruf V. Misal, “aktifitas” seharusnya “aktivitas”, atau “kreatifitas” seharusnya “kreativitas”. Penggunaan huruf F hanya digunakan saat kata-kata jenis tersebut dituis sebagai kata sifat, dengan kata lain saat akhiran “-itas”-nya dihilangkan, yakni “aktif” dan “kreatif”.
Dalam bahasa Indonesia, beberapa istilah serapan dari bahasa asing memiliki versi sendiri. Secara pengucapan mungkin sama atau hampir sama, tapi penulisannya berbeda. Tapi tetap saja ada yang belibet dalam menuliskan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Misal, “fotokopi”, seringkali ditulis “fotocopy”. Nanggung, bukan? Kalaupun memang mau menggunakan versi asli, ya tulis saja “photocopy”. Jangan dicampuradukkan seperti gado-gado, oke?
Beberapa istilah asing lain juga sebenarnya punya versi dalam bahasa kita. Misal “pizza”, dalam bahasa kita ditulis “piza”, dengan satu Z. Tapi lantaran orang Indo tahunya “pizza”, tak masalah bila kita tulis dengan dua Z. Daripada dianggap norak, hehe. Tapi alangkah baiknya bila tulisan “pizza” dicetak miring agar pembaca tahu bahwa nama itu berasal dari bahasa asing.
Nah, itu baru segelintir dari seluruh kesalahan tata bahasa yang sudah terlanjur menjadi kebiasaan masyarakat kita. Kalau sampai kebiasaan ini mendarah daging dalam diri anak cucu kita kelak, wah, bahaya tuh! Bisa-bisa bahasa Indonesia yang baku benar-benar musnah di kemudian hari.
Memahami bahasa Inggris sebagai bahasa internasional memang suatu keharusan. Tapi jangan sampai jadikan hal itu sebagai alasan untuk bergaya sok keinggris-inggrisan. Kalau masyarakat Indonesia sendiri banyak keliru dalam menggunakan bahasa Indonesia, wah, lantas siapa yang harus melestarikan bahasa nasional kita ini? Orang Amerika? Orang Malaysia? Orang Zimbabwe? Tidak mungkin, bukan?
Semoga tulisan saya bisa membantu kawan-kawan dalam membenahi kebiasaan berbahasa kita. Di sisi lain, saya sadar dalam tulisan saya sendiri pun pasti masih mengandung kesalahan tata bahasa. Jadi tolong dimaklumi yah, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Bagaimana dengan bahasa alay? Nah, saya juga tidak menuntut teman-teman untuk berhenti berbicara alay. Anggap saja sebuah tren atau gaya hidup baru. Asal kita harus tahu situasi dan kondisinya. Nggak mungkin kan, menggunakan bahasa @L4y dalam skripsi? (y@ n6g4k mUn6k!nL@h, g1L4 4j@ L0, V!4n!)
Tambahan:
Oya, satu hal yang terluput dari tulisan saya, yakni tata bahasa dalam soal ujian pun banyak mengandung kekeliruan. Waktu saya masih sekolah dulu penulisan soal di lembar soal ujian semester sangat jauh dari kesan rapi. Baik dari segi penulisan kata maupun pembubuhan tanda baca. Ditambah beberapa kesalahan ketik. Yah, memang sih yang menulisnya adalah para guru di bidang studi yang bersangkutan. Tapi kan guru-guru itu orang berpendidikan, figur yang berperan besar dalam ranah pendidikan. Meskipun tidak semuanya guru bahasa Indonesia, paling tidak paham sedikit banyaklah tentang tata bahasa yang baik dan benar. Mohon dipertimbangkan yah, Pak, Bu. Maaf kalau saya lancang :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar