Sabtu, 09 Februari 2013

a

Oleh: Luthfi Bashori  Konon menurut shahibul hikayat, di jaman penjajahan Jepang pernah terjadi suatu keajaiban. Saat itu, ada seorang petani yang aktif shalat di sebuah mushalla dekat perkampungan. Sekali pun ia bukanlah penduduk desa itu, namun ia memiliki sebidang tanah sawah yang berada di wilayah tersebut.  Karena itulah hampir setiap Dhuhur dan Ashar petani itu selalu meluangkan waktunya shalat di mushalla itu, bahkan karena keaktifannya, maka warga setempat menunjuknya sebagai imam shalat khusus Dhuhur dan Ashar.  Sebenarnya, petani itu bukanlah ahli ilmu agama, namun karena kondisi masyarakat di jaman itu cukup mengenaskan, baik dari segi keilmuan, perekonomian maupun keamanan, maka karena keadaanlah memaksa mereka untuk memanfaatkan apa saja yang dianggap maslahat tanpa harus meninjau syarat-syarat ideal, termasuk dalam mengangkat imam shalat Dhuhur dan Ashar.  Di sisi lain, kaum lelaki di kampung itu kebanyakan adalah para pejuang kemerdekaan, sehingga bukan urusan gampang mencari kaum lelaki yang senantiasa stand by di kampung halamannya, karena mereka harus bergerilya dan selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, masuk hutan keluar hutan, demi menyusun strategi menghadapi dan menyerang penjajah Jepang.  Suatu saat, ada serombongan gerilyawan yang berlarian menuju mushalla kampung tersebut. Rupanya mereka sedang dikejar tentara Jepang. Sangat kebetulan, di saat yang bersamaan si petani itu sedang mengimami shalat Dhuhur. Maka kontan para gerilyawan bergabung shalat berjamaah, sekaligus untuk menghilangkan jejak dari kejaran tentara Jepang.  Sayangnya barisan tentara Jepang itu tetap mencurigai para jamaah shalat Dhuhur di mushala itu, dan menghitungnya sebagai para pejuang yang sedang mereka kejar, maka tanpa ba-bi-bu, tiba-tiba tembakan demi tembakan meletus dan diarahkan kepada para jamaah shalat.  Tentu saja banyak para jamaah yang bergelimpangan mati syahid, sedangkan mereka yang tidak terkena peluru, secara refleksi menggunakan trik menjatuhkan diri pura-pura mati, agar tidak menjadi sasaran tembak berikutnya.  Lain halnya dengan si petani yang menjadi imam shalat, ia dengan khusyu` terus menyelesaikan shalatnya, hingga tentara Jepang itupun membrodongkan tembakannya ke arah si petani yang menjadi imam shalat. Anehnya, si petani itu tetap istiqamah dalam shalatnya tanpa terpengaruh apapun, hingga akhirnya tentara barisan Jepang beranjak meninggalkan si petani di saat sedang membaca salam pada tahiyyat akhir.  Peristiwa ini sangat mengejutkan para pejuang yang masih hidup. Maka Mereka beramai-ramai menanyakan ajian apa yang digunakan oleh si petani hingga dirinya tidak mempan ditembak.  Dengan polos, si petani mengatakan bahwa konon ia mendapat ijazah dari seorang Kiai yang kebetulan sedang mengajar di kampung tempat tinggalnya, yaitu agar setiap usai shalat fardlu hendaklah selalu membaca : YA KAYUKU YA KAYUMU sebanyak seratus kali, dan jika berada dalam keadaan darurat/genting maka hendaklah dibaca sebanyak-banyaknya tanpa hitungan tertentu. Karena itulah si petani selalu istiqamah membacanya dengan penuh keyakinan `seyakin-yakinnya`, sehingga dalam keadaan darurat tadi si petani merasa dirinya menjadi seperti KAYU yang tidak mempan ditembak.  Kebetulan ada salah seorang dari kalangan pejuang yang masih hidup itu, konon adalah alumni sebuah pesantren. Maka dengan sedikit senyum ia ingin mengoreksi bacaan sang petani yang merangkap jadi imam shalat > Lantas dengan nada lembut dan hormat alumni pesantren itu mengatakan: Pak, mohon maaf, barangkali bacanya yang benar itu adalah YA HAYYU YA QAYYUM, karena yang bapak baca itu adalah termasuk Asmaul Husna, yaitu nama-nama Allah, bukan YA KAYUKU YA KAYUMU, hingga badan bapak berubah menjadi KAYU.  Karena keawwaman si petani, ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan lisan awwamnya tetap saja membaca YA KAYUKU YA KAYUMU dengan penuh keyakinan, hal ini karena lisannya sudah terbiasa dengan bacaan itu.  Berbeda dengan alumni pesantren tersebut, ia pun berusaha mengamalkan bacaan YA HAYYU YA QAYYUM seperti yang diamalkan si petani, bahkan lisannya jauh lebih baik dan lebih fasih saat membacanya. Hanya saja dari segi keyakinan saat mengamalkan ijazah itu, masih di bawah standar keyakinan si petani awwam tadi.  Hingga suatu saat, terjadi lagi peristiwa yang hampir sama, bahwa para gerilyawan itu kembali dikejar-kejar tentara Jepang dan dibrondong peluru. Namun karena nasib yang berbeda, alumni pesantren yang fasih mengucapkan YA HAYYU YA QAYYUM itu pun akhirnya mati syahid tertembak peluru tentara Jepang. Innalillahi wa inaa ilaihi raaji`un.  Penyair mengatakan :  Idzil fataa hasba`tiqaadihi rufi` # wakullu man lam ya`taqid lan yantafi`  Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat mengambil manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar