Jumat, 22 Februari 2013

Kisah Kesabaran Ayah dan Kesucian Ibu Imam Syafi’i


Suatu hari seorang lelaki muda hendak berangkat mengaji, berjalan menyusuri pinggiran sungai. Tanpa sengaja
matanya tertuju pada sebuah buah delima yang hanyut. Delima itu tampak matang dan ranum. Warna merah delima itu menggoda kerongkongan pemuda yang bernama Idris As Syafi’i. Tanpa menunggu lama, dengan sebilah tongkat kayu sambil menginjak tepian sungai, ia mencoba meraih delima ranum tersebut. “Hupp….”

Delima itupun sampai dalam genggaman. Dalam kondisi lapar, tanpa pikir panjang ia langsung meraup delima demi mengganjal perutnya yang keroncongan.
Gigitan demi gigitan delima itu dilahap nikmat. Setengah delima telah masuk ke dalam penggilingan usus, barulah ia bertanya dengan dirinya, “Siapakah pemilik delima ini?” Aku yakin buah ini pasti ada pemiliknya, yang kepadanya aku belum meminta ijin untuk memakannya.” Demikian pertanyaan itu menghentikan gigitan yang masih menempel di mulut. “Berarti pula makanan yang masuk kedalam perutku ini tidaklah halal bagiku. Oh Tuhan….Maafkan aku.” Itulah penyesalan yang muncul di dalam hati pemuda Idris.”
Lama dia termenung, teringat ajaran sang guru, bahwa makanan haram yang masuk kedalam badan dan pakaian yang haram yang menutup badan dapat menjadi suatu sebab terhambatnya doa. “Oh Tuhan, ampunilah aku. Bagaimana caraku untuk membersihkan kesalahanku?” Itulah penyesalan yang tiada terbilang memenuhi relung hati sang pemuda beriman, Idris.
Setelah merenung bingung beberapa berselang, akhirnya diperoleh cara untuk menyelesaikannya, “Aku harus mencari pemilik delima, untuk meminta keikhlasan atasnya.” Akhirnya,pemuda IDris menyusuri tepian sungai, berusaha mencari pemilik delima tadi. Delima yang tinggal setengah masih pula di gengang sebagai bukti nanti kalau-kalau sang pemilik meminta kembali.
Cukup panajang ia menyuri sungai itu akhirnya bertemu dengan sebuah perkebunan yang ditumbuhi pohon delima. Memanglah bahwa lokasi kebun itupun menjorok ke sungai. “Dari pohon inilah barangkali delima yang hanyut yang kumakan tadi.” Idris terus mengamati pohon delima yang menempel di dahan-dahan sambil mencocokannya dengan buah delima yang ia makan. Ternyata sama persis.
Setelah ia yakin benar, lantas Idris bertanya untuk mencari pemilik kebun. Bertemulah ia kepada sang pemilik kebun.
Tanpa gusar ia terus berkata kepada orang asing itu, “Maaf pak, saya kesini untuk meminta keikhlasan bapak atas kekhilafan yang telah saya lakukan.” kata Idris membuka pembicaraan.
Lelaki paruh baya yang sudah ditumbuhi uban itu mengerutkan wajah dengan penuh heran. Pemuda asing yang datang ini langsung mengajukan permintaan yang sangat ameh baginya. Permintaan maaf yang diapun tak mengerti arah pembicaraan Idris.
“Apa gerangan yang membuat anda meminta maaf dan keikhlasan, padahal kita baru saja berjumpa? Saya sangat yakin tak ada kekeliruan diantara kita berdua.” jawab lelaki setengah baya.
“Begini pak. Dijelaskanlah semua permasalahan yang telah menimpa dirinya dari awal hingga pertemuan mereka. Mendengar penjelasan tersebut, lelaki paruh baya terkejut, “subhanallah”. Bibirnya sontak berujar memuji Allah.
Beberapa saat laki-laki separuh baya itu terdiam terhipnotis oleh akhlaq laki-laki asing yang berada di depannya. “Baru kali ini aku melihat seorang laki-laki yang begitu bersemangat menjaga dan mencegah diri dari dosa, padahal bisa saja ia melupakan perkara itu begitu saja. Tapi laki-laki muda ini sangat aneh, dan jarang kutemui.” Pak Tua membatin
Lain halnya dengan pemuda itu, Idris justru dilanda kekhawatiran tiada terkira, jangan-jangan Pak Tua tak mau memaafkannya, “Bagaimana, pak, bisakah aku dimaafkan, dan delima yang aku makan diikhlaskan?”
Pak tua lantas memberi jawaban dengan wajah yang dibuat-buat agar menimbulkan keangkeran, “Aku mau menerima maafmu, asal kamu mau menerima persyaratanku.”
“Oh saya mau Pak, apapun persyaratan yang bapak ajukan, aku mau melakukan, asal bapak mau mengikhlaskan, ” sambut Idris berseri-seri, karena melihat peluang untuk dapat diampuni.
“Begini Nak, “kata Pak Tua mulai menjelaskan serius, “Aku punya seorang anak perempuan tunggal yang tuli, bisu, buta dan lumpuh.”
“Lantas?” tanya si Idris penasaran.
“Aku menghendakimu menjandi menantuku, mengawini putriku. Itulah satu-satunya syarat yang kuajukan agar delima yang telah engkau makan dapat aku ihklaskan, “jelas Pak Tua sejelas-jelasnya.
Innalillah,” desis hati si Idris ketika mendengar penjelasan, “Bagaimana mungkin hanya untuk mendapatkan keikhlasan sebuah delima harus aku tebus dengan mengawini wanita cacat segalanya. Apakah cara ini cukup adil?” Kelihatan sekali kening pemuda Idris berkerut, mempertimbangakan dan memikirkan keputusan yang sangat berat.
Pak Tua memperlihatikan pemuda Idris dengan seksama lantas bertanya malah terkesan setengah memaksa, “Bagaimana Nak?” Memang itulah persyaratanku saja.”
Pemuda Idris terdiam, tampak memikirkan dengan begitu mendalam. Sejenak kemudian ia mengangkat wajah, mendesah berat, lantas memberikan jawaban, “Kalau memang hanya cara itu yang bisa membuat Bapak memaafkan kesalahanku maka aku harus menyanggupinya wahai Pak Tua.”
Mendengar jawaban Idris, lelaki paruh baya itu tersenyum bahagia lantas bicara, “Aku ikhlas memberi ampunan, aku harap kau ikhlas menerima persyaratan.”
“Aku ikhlas, “tukas Idris lugas, sambil menyodorkan sebuah jabat tangan.
“Kalau begitu, sebelum aku mengawinkanmu, kupersilakan kau melihat calon istrimu dahulu, Kata Pak Tua, sambil mempersilakan pemuda Idris melihat calon istrinya di ruang tengah. Pemuda Idris segera beranjak, menuju ruang yang ditunjukkan. Dengan tangan sedikit kaku. didorongnya gagang pintu dengan hati berdebar tak menentu karena matanya akan segera menatap calon istri yang cacat segala rupa.
“Bagaimana bentuk wanita calonku ini, yang cacat segalanya, buta tuli, lumpuh, bisu?” Beberapa saat pintu terbuka hampir tak berbunyi. Di lihatnya sorang wanita jelita yang tampaknya sedanga merenda. Hanya dia dan tak ada lagi wanita lainnya. Bingung. Pintu ditutup kembali sam apelannya ketika ia membuka lantas menemui Ayah perempuan. “Pak, aku tak melihat orang lain di dalam sana,kecuali hanya seorang wanita yang sedang merenda.”
Pak Tua tersenyum lantas berujar, “Dialah calon istrimu.”
“Oh Tuhan, bagaimana bisa begitu? Bukankah Bapak tadi menyebut calonku seorang buta tuli, lumpuh, bisu? Sedangkan yang didalam sana seorang wanita yang sangat jelita dengan muka ranum bak delima?” tanya pemuda Idris setengah tak percaya. Hatinya berdebar kencang.
“Bagini anakku. Dia memang buta dalam soal melihat kemaksiatan. Dia memang tuli dalam mendengar pembicaraan yang dapat menimbulkan murka Allah. Dia memang bisu untuk mengucapkan makian dan lumpuh karena tidak melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat, lokasi berkumpulnya syetan. Dia tak pernah bersentuhan dengan segala kemaksiatan, Itulah yang kumaksud bahwa dia buta, tuli, lumpuh, bisu. Karena itulah, tak ada pemuda yang layak menjadi suaminya kecuali orang sepertimu, yang juga menjaga diri dari segala hal yang berkaitan dengan dosa, haram, dan kemaksiatan.
Merekapun dinikahkan. Kebahagian meliputi perjalanan pasangan ini mengarungi bahtera rumah tangga. Karena niatan Lillah Billah dan Fillah, halangan demi halangan hanya Allah tempat terbaik dalam meminta dan berlindung.
Dari pasangan suami-istri yang terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i.
Itulah kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kehormatan dan kesuciannya maka Allah pun mengabulkan do’a nya, menganugrahkan keduanya seorang anak yang saleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar