Sabtu, 09 Februari 2013

Beristirahat Akan Sangat Membantu Kelanjutan Perjalanan


Dalam syariah jelas sekali, ada kebebasan yang membantu seseorang  untuk meningkatkan kualitasnya dalam beribadah, dalam berimfak dan  dalam beramal shaleh. Rasulullah SAW sendiri biasa tertawa,  bercanda, dan tidak berbicara kecuali yang perlu-perlu saja.
“Dan bahwasannya Dialah yang membuat manusia tertawa dan menangis.”  (QS. An-Najm: 43)
Beliau pernah mengajak `Aisyah balapan lari, dan selalu bijaksana  mempertimbangkan kapan harus memberi nasihat kepada para shahabatnya  semata-mata untuk menghindarkan kebosanan pada diri mereka.  Rasulullah juga melarang sesuatu yang dibuat-buat, terlalu mendalam,  dan menyulitkan diri sendiri. Beliau pernah mengabarkan bahwa orang  yang mempersulit dirinya dalam menjalankan agama maka agama akan  benar-benar mempersulitnya. Dalam sebuah hadits juga disebutkan  bahwa agama ini sangat kuat dan tegas maka perlakukanlah dia dengan  lembut. Dalam hadits yang lain juga disebutkan bahwa setiap hamba  itu memiliki vitalitasnya masing-masing yakni kekuatan, ketegasan,  dan kemampuan untuk menolak. Seseorang yang
terlalu memaksakan diri  untuk melakukan yang terlalu berat akan hancur. Sebab dia hanya  melihat pada kondisi sekarang saja, tanpa memperhatikan apa saja  yang bisa terjadi secara tiba-tiba, berapa lamanya, dan sampai  dimana kebosanan itu karena selalu tertekan. Orang yang berpikir  akan menyadari bahwa dirinya memiliki batas minimal kemampuan untuk  menyelesaikan pekerjaannya secara marathon. Ketika suatu saat sedang  bersemangat maka dia akan menambah volume pekerjaan yang  diselesaikannya, dan ketika suatu saat sedang tidak bersemangat maka  dia akan bekerja dengan kemampuan minimalnya. Inilah makna dari  atsar shahabat: Jiwa itu memiliki kemampuan untuk maju dan untuk  mundur. Maka pergunakanlah kemampuan itu sebaik-baiknya tatkala  sedang maju, dan tinggalkanlah dia saat sedang mundur.
Sejauh pengamatan saya, orang yang memaksakan diri untuk menambah  berat timbangan amalnya, terlalu banyak melakukan yang nafilah, dan  nekad melakukan amalan diluar batas kemampuannya, justru akan  terputus dari amalan itu dan kembali melemah, bahkan jauh lebih  lemah dari sebelumnya.
Agama pada dasarnya, datang untuk membahagiakan umat manusia.
“Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi  susah.” (QS. Thaha: 2)
Allah menghinakan orang-orang yang membebani diri mereka dengan  sesuatu yang diluar batas kemampuannya, yang akhirnya harus menarik  diri dari dunia nyata dengan melanggar apa yang telah mereka  komitmenkan terhadap diri mereka sendiri.
“Dan, mereka mengada-ngadakan rahbaniyah, padahal Kami tidak  mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada- ngadakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak  memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (QS. Al-Hadid:  27)
Kelebihan Islam dibandingkan gama-agama lain didunia adalah bahwa  Islam itu agama fitrah, agama yang bersahaja, agama yang  memperhatikan sukma dan raga, dunia dan akhirat, dan agama yang  mudah.
“(Itulah) agama yang lurus.” (QS. Ar-Rum: 30)
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri: “Ada seorang Arab Badui datang  kepada Rasulullah dan bertanya, `Wahai Rasulullah, siapakah orang  yang paling baik?’ Rasulullah menjawab, `Seorang mukmin yang  berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya, kermudian seeorang  yang mengasingkan diri di sebuah lembah untuk menyembah Rabbnya’.”  Dalam riwayat lain juga ditambahkan: “…, dan bertakwa kepada Allah,  serta meninggalkan manusia dari kejahatannya.”
Masih dari Abu Said al-Khudri: “Saya mendengar Rasulullah  bersabda, `Hampir tiba masanya di mana sebaik-baik harta seorang  muslim adalah seekor domba yang menyusuri lereng-lereng gunung dan  di tempat mengembara (desa) karena melarikan diri membawa agamanya  untuk menjauhi fitnah’.” (HR. Bukhari)
Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, “Menyendirilah sewajarnya.”
Sangat bagus pesan yang disampaikan oleh Junaid al- Baghdadi. “Menguat-nguatkan diri untuk ber’uzlah itu jauh lebih  mudah daripada harus memaksakan diri untuk bergaul dengan banyak  orang.”
Al-Khaththabi mengatakan, “Seandainya manfaat ber’uzlah itu hanyalah  menghindarkan diri dari kebiasaan ghibah dan dari kebiasaan melihat  kemungkaran yang tidak mampu dia hilangkan, maka itu sudah merupakan  sesuatu kebaikan yang besar.”
Ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Hakim dari Abu Dzar  secara marfu’ dengan sanad hasan: “Menyendiri itu lebih baik  daripada duduk dengan teman yang buruk budi pekertinya.”
Al-Khaththabi menyebutkan dalam bukunya al-`Uzlah bahwa ber’uzlah  dan bergaul itu berbeda seiring dengan keadaan seseorang. Dalil- dalil yang diturunkan menyuruh untuk bergaul dengan orang lain  karena itu berkaitan dengan ketaatan kepada para pemimpin dan untuk  mengkaji masalah-masalah agama. Untuk pergaulan-pergaulan yang lain,  bagi yang sudah mempunyai penghidupan yang cukup dan kemampuan untuk  menjaga agamanya, maka lebih baik untuk mengurangi kegiatan itu  dengan tidak mempengaruhi kewajibannya untuk bershalat jamaah,  menjawab salam, menengok orang sakit, menghadiri pemakaman, dan lain  sebagainya.. Maksud mengurangi disini adalah mengurangi kontak  sosial yang berlebihan karena itu hanya akan membuat hati tidak  tenang dan waktu yang seharusnya untuk melakukan hal-hal yang lebih  penting terbuang sia-sia. Bergaul dengan orang lain tak ubahnya  kebutuhan tubuh terhadap makan dan minum. Artinya, dalam menghadapi  makanan dan minuman itu, seseorang harus bisa mendahulukan mana yang  dibutuhkan dan mana yang tidak, karena yang demikian itu lebih  bersih untuk tubuh dan hati.
Al-Qusyairi dalam ar-Risalah mengatakan bahwa alasan orang memilih  ber’uzlah adalah untuk menghindarkan orang lain dari kemungkinan  kejahatan yang ia lakukan, bukan sebaliknya: menghindarkan dirinya  dari kemungkinan kejahatan yang dilakukan orang lain. Alasan  pertama, menghindarkan diri dari sikap merendahkan diri, karena itu  merupakan sifat orang yang merendahkan diri. Sedangkan alasan kedua,  karena keyakinan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain, yang  merupakan sifat orang yang sombong.
Dalam masalah `uzlah , orang digolongkan menjadi tiga: dua golongan  ekstri dan satu golongan lagi moderat.
Pertama, orang yang menjauh dari masyarakat sampai pada shalat  jum’at, shalat jama’ah, shalat hari raya, dan kumpulan-kumpulan yang  bertujuan baik lainnya. Mereka ini salah.
Kedua, orang yang bergaul dan berbaur dengan masyarakat sampai dalam  hal-hal yang diikuti syetan, yang mengandung ketidakbenaran, gossip,  dan tak membuang waktu percuma. Mereka juga salah.
Sedangkan kelompok ketiga adalah orang yang bercampur dengan  masyarakat dalam ibadah-ibadah yang hanya bisa dilakukan secara  berjama’ah, melibatkan diri dalam kegiatan yang prinsipnya saling  tolong-menolong untuk kebaikan, ketakwaan, dan mendatangkan pahala  dan ganjaran. Selain itu juga, menjauhi kegiatan-kegiatan yang  menghalangi kedekatannya dengan Allah dan melakukan kemubahan yang  berlebihan.
“Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat  yang adil dan pilihan.” (QS. Al-Baqarah: 143)[*]
***
die *La Tahzan* DR. Aidh al-Qarni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar