Dalam syariah jelas sekali, ada kebebasan yang membantu seseorang untuk meningkatkan kualitasnya dalam beribadah, dalam berimfak dan dalam beramal shaleh. Rasulullah SAW sendiri biasa tertawa, bercanda, dan tidak berbicara kecuali yang perlu-perlu saja.
“Dan bahwasannya Dialah yang membuat manusia tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)
Beliau pernah mengajak `Aisyah balapan lari, dan selalu bijaksana mempertimbangkan kapan harus memberi nasihat kepada para shahabatnya semata-mata untuk menghindarkan kebosanan pada diri mereka. Rasulullah juga melarang sesuatu yang dibuat-buat, terlalu mendalam, dan menyulitkan diri sendiri. Beliau pernah mengabarkan bahwa orang yang mempersulit dirinya dalam menjalankan agama maka agama akan benar-benar mempersulitnya. Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa agama ini sangat kuat dan tegas maka perlakukanlah dia dengan lembut. Dalam hadits yang lain juga disebutkan bahwa setiap hamba itu memiliki vitalitasnya masing-masing yakni kekuatan, ketegasan, dan kemampuan untuk menolak. Seseorang yang
terlalu memaksakan diri untuk melakukan yang terlalu berat akan hancur. Sebab dia hanya melihat pada kondisi sekarang saja, tanpa memperhatikan apa saja yang bisa terjadi secara tiba-tiba, berapa lamanya, dan sampai dimana kebosanan itu karena selalu tertekan. Orang yang berpikir akan menyadari bahwa dirinya memiliki batas minimal kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaannya secara marathon. Ketika suatu saat sedang bersemangat maka dia akan menambah volume pekerjaan yang diselesaikannya, dan ketika suatu saat sedang tidak bersemangat maka dia akan bekerja dengan kemampuan minimalnya. Inilah makna dari atsar shahabat: Jiwa itu memiliki kemampuan untuk maju dan untuk mundur. Maka pergunakanlah kemampuan itu sebaik-baiknya tatkala sedang maju, dan tinggalkanlah dia saat sedang mundur.
Sejauh pengamatan saya, orang yang memaksakan diri untuk menambah berat timbangan amalnya, terlalu banyak melakukan yang nafilah, dan nekad melakukan amalan diluar batas kemampuannya, justru akan terputus dari amalan itu dan kembali melemah, bahkan jauh lebih lemah dari sebelumnya.
Agama pada dasarnya, datang untuk membahagiakan umat manusia.
“Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (QS. Thaha: 2)
Allah menghinakan orang-orang yang membebani diri mereka dengan sesuatu yang diluar batas kemampuannya, yang akhirnya harus menarik diri dari dunia nyata dengan melanggar apa yang telah mereka komitmenkan terhadap diri mereka sendiri.
“Dan, mereka mengada-ngadakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada- ngadakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (QS. Al-Hadid: 27)
Kelebihan Islam dibandingkan gama-agama lain didunia adalah bahwa Islam itu agama fitrah, agama yang bersahaja, agama yang memperhatikan sukma dan raga, dunia dan akhirat, dan agama yang mudah.
“(Itulah) agama yang lurus.” (QS. Ar-Rum: 30)
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri: “Ada seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah dan bertanya, `Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling baik?’ Rasulullah menjawab, `Seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya, kermudian seeorang yang mengasingkan diri di sebuah lembah untuk menyembah Rabbnya’.” Dalam riwayat lain juga ditambahkan: “
, dan bertakwa kepada Allah, serta meninggalkan manusia dari kejahatannya.”
Masih dari Abu Said al-Khudri: “Saya mendengar Rasulullah bersabda, `Hampir tiba masanya di mana sebaik-baik harta seorang muslim adalah seekor domba yang menyusuri lereng-lereng gunung dan di tempat mengembara (desa) karena melarikan diri membawa agamanya untuk menjauhi fitnah’.” (HR. Bukhari)
Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, “Menyendirilah sewajarnya.”
Sangat bagus pesan yang disampaikan oleh Junaid al- Baghdadi. “Menguat-nguatkan diri untuk ber’uzlah itu jauh lebih mudah daripada harus memaksakan diri untuk bergaul dengan banyak orang.”
Al-Khaththabi mengatakan, “Seandainya manfaat ber’uzlah itu hanyalah menghindarkan diri dari kebiasaan ghibah dan dari kebiasaan melihat kemungkaran yang tidak mampu dia hilangkan, maka itu sudah merupakan sesuatu kebaikan yang besar.”
Ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Hakim dari Abu Dzar secara marfu’ dengan sanad hasan: “Menyendiri itu lebih baik daripada duduk dengan teman yang buruk budi pekertinya.”
Al-Khaththabi menyebutkan dalam bukunya al-`Uzlah bahwa ber’uzlah dan bergaul itu berbeda seiring dengan keadaan seseorang. Dalil- dalil yang diturunkan menyuruh untuk bergaul dengan orang lain karena itu berkaitan dengan ketaatan kepada para pemimpin dan untuk mengkaji masalah-masalah agama. Untuk pergaulan-pergaulan yang lain, bagi yang sudah mempunyai penghidupan yang cukup dan kemampuan untuk menjaga agamanya, maka lebih baik untuk mengurangi kegiatan itu dengan tidak mempengaruhi kewajibannya untuk bershalat jamaah, menjawab salam, menengok orang sakit, menghadiri pemakaman, dan lain sebagainya.. Maksud mengurangi disini adalah mengurangi kontak sosial yang berlebihan karena itu hanya akan membuat hati tidak tenang dan waktu yang seharusnya untuk melakukan hal-hal yang lebih penting terbuang sia-sia. Bergaul dengan orang lain tak ubahnya kebutuhan tubuh terhadap makan dan minum. Artinya, dalam menghadapi makanan dan minuman itu, seseorang harus bisa mendahulukan mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak, karena yang demikian itu lebih bersih untuk tubuh dan hati.
Al-Qusyairi dalam ar-Risalah mengatakan bahwa alasan orang memilih ber’uzlah adalah untuk menghindarkan orang lain dari kemungkinan kejahatan yang ia lakukan, bukan sebaliknya: menghindarkan dirinya dari kemungkinan kejahatan yang dilakukan orang lain. Alasan pertama, menghindarkan diri dari sikap merendahkan diri, karena itu merupakan sifat orang yang merendahkan diri. Sedangkan alasan kedua, karena keyakinan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain, yang merupakan sifat orang yang sombong.
Dalam masalah `uzlah , orang digolongkan menjadi tiga: dua golongan ekstri dan satu golongan lagi moderat.
Pertama, orang yang menjauh dari masyarakat sampai pada shalat jum’at, shalat jama’ah, shalat hari raya, dan kumpulan-kumpulan yang bertujuan baik lainnya. Mereka ini salah.
Kedua, orang yang bergaul dan berbaur dengan masyarakat sampai dalam hal-hal yang diikuti syetan, yang mengandung ketidakbenaran, gossip, dan tak membuang waktu percuma. Mereka juga salah.
Sedangkan kelompok ketiga adalah orang yang bercampur dengan masyarakat dalam ibadah-ibadah yang hanya bisa dilakukan secara berjama’ah, melibatkan diri dalam kegiatan yang prinsipnya saling tolong-menolong untuk kebaikan, ketakwaan, dan mendatangkan pahala dan ganjaran. Selain itu juga, menjauhi kegiatan-kegiatan yang menghalangi kedekatannya dengan Allah dan melakukan kemubahan yang berlebihan.
“Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan.” (QS. Al-Baqarah: 143)[*]
***
die *La Tahzan* DR. Aidh al-Qarni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar