Sabtu, 09 Februari 2013

Etika Berdo’a


Dalam berinteraksi dengan manusia, ada etika, sopan santun, dan adab. Menjaga pola interaksi dan komunikasi yang baik, akan menjamin hubungan yang baik dengan sesama. Begitupun sebaliknya. Tanpa etika, sopan santun dan adab, hubungan sesama manusia akan sulit menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Ilustrasi ini, akan mengawali, bagaimana kita menjalin hubungan, komunikasi dan interaksi yang baik dengan Allah SWT melalui do’a.
Tentu ada beberapa langkah yang diajarkan Allah, Rasulullah dan para salafushalih agar kita bisa berdo’a dengan baik.
Pertama, pilihlah waktu-waktu yang tepat untuk berdo’a. Sebenarnya berdo’a itu tidak terikat dengan waktu, tetapi Islam memang mengajarkan ada waktu yang paling baik dan istimewa untuk berdo’a. Beberapa waktu istimewa untuk dikabulkannya do’a antara lain di malam qadar (sepuluh malam terakhir dalam bulan Ramadhan)
, di hari Arafah (9 Zulhijjah di kala jemaah haji wukuf di Arafah), di bulan Ramadhan, di hari Jum’at, di sepertiga malam yang terakhir (sesudah jam 2 malam), pada waktu sahur (sebelum fajar), sesudah berwudhu, usai azan sebelum iqamat, ketika sedang berpuasa, ketika dalam medan jihad, di setiap selesai shalat fardu, pada waktu sedang sujud (dalam sholat atau di luar sholat), ketika sedang musafir atau bepergian, dan sebagainya. Termasuk di sini, adalah tidak menyia-nyiakan untuk berdo’a di tempat-tempat yang istimewa, seperti di Masjidil Haram, misalnya.
Kedua, gunakan keberadaan diri kita untuk meraih kesempatan berdo’a. Rasulullah menjelaskan, di antara do’a yang mustajab adalah do’a orang tua untuk anaknya, atau do’a anak yang berbakti dengan baik kepada orang tuanya, dan do’a seorang muslim untuk saudaranya yang muslim, tanpa diketahui oleh saudara yang dido’akan itu. Maka, bila kita menjadi orang tua, perbanyaklah do’a untuk anak-anak. Bila kita menjadi anak, berusahalah untuk berbakti kepada orang tua, agar do’a kita terkabulkan. Dan, jangan lupa seringlah berdo’a untuk saudara dengan diam-diam. Karena Allah berjanji akan memberi untuk kita, apa yang kita mintakan untuk saudara kita itu. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendo’akan saudaranya secara diam-diam, kecuali malaikat berkata,  ‘dan untukmu seperti apa yang engkau mintakan untuknya.” (HR. Muslim).
Ketiga, mulailah berdo’a dengan memperbanyak puji-pujian kepada Allah. Memulai dengan tahmid (pujian terhadap Allah) dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam. Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu berdo’a, hendaknya memulai dengan memuji dan menyanjung Rabbnya, dan bershalawat kepada Nabi, kemudian berdo’a apa yang dia kehendaki.” (HR.Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani). Ibnu Mas’ud ra pernah berdo’a, ia memulai dengan tahmid, kemudian bershalawat, kemudian diteruskan dengan do’a untuk kebaikan dirinya. Maka Rasulullah yang ketika itu mendengarnya mengatakan, “Mintalah pasti kamu diberi, mintalah pasti kamu diberi.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih, dan Abdul Qadir Al-Arnauth berkata, sanadnya hasan).
Keempat, mengangkat kedua tangan. Ini adalah salah satu sikap yang menunjukkan kebutuhan seorang hamba dalam berdo’a. Perhatikanlah sabda Rasulullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Rabbmu itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, malu dari hamba-Nya jika ia mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya kemudian menariknya kembali dalam keadaan hampa kedua tangannya.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Kelima, jangan mengeraskan suara. Cukup berdo’a dengan suara samar. Menghinakan diri di hadapan-Nya dan menampakkan kebutuhan yang sangat. Cukup denqan kata-kata yang sederhana, jelas. Utamakan materi do’a yang berasal daripada Rasulullah SAW, sahabat atau salafushalih. Allah berfirman, “Berdo’alah kepada Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara pelan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-A’raf: 55).
Keenam, sebelum berdo’a, ucapkan istighfar dan mohon ampun kepada Allah atas seluruh kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Mintalah dengan penuh kesungguhan ampunan (maghfirah) Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahuinya, baik yang diingat maupun yang terlupa. Sebab bagi Allah, tak ada sesuatu yang tersembunyi. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan apa yang ada diantara keduanya. Dia juga mengetahui apa yang kita rahasiakan dari urusan kita, dan apa yang kita nyatakan. Allah berfirman: “Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (Qs. Al Baqarah: 284). “Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mukmin: 19). Memohon ampun disertai dengan taubat yang benar dan niat yang ikhlas demi Allah akan menyucikan jiwa dan membersihkannya dari dosa-dosa.
Ketujuh, konsentrasi dan khusyu’. Pahami dan resapi benar-benar apa yang kita minta. Berdo’a tidaklah sekadar melafadzkan bait-bait yang dihafal tanpa mengerti maknanya, tetapi harus benar-benar memahami dan menginginkan dikabulkannya do’a itu. Rasulullah bersabda: “Mohonlah kepada Allah sementara kamu sangat yakin untuk dikabulkan, dan ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan bermain-main.” (HR. At-Tirmidzi, di hasankan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani). Ketidaksesuaian sikap sewaktu berdo’a turut mempengaruhi kesempurnaan berdo’a. Jangan sampai kita berdo’a, sementara hati kita ngelayap entah ke mana. Ingat, perbuatan manusia hanya bermakna jika disertai kesadaran hati, oleh karena itu Allah hanya menilai perbuatan manusia yang berpijak pada kesadaran hati. Demikian juga do’a kepada Allah, yang didengar bukan bunyi kata-kata, tetapi kesadaran hati orang yang berdo’a. Menurut Hadist Riwayat Tirmizi, Allah tidak mendengarkan dan tidak mengabulkan do’a dari orang yang hatinya lalai (min qalbi ghafilin lahin).
Kedelapan, hindari berdo’a untuk keburukan. Seorang muslim dilarang keras mendo’akan kemusnahan dan kehancuran sesama muslim, karena Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya (seagama) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Rasulullah tidak pernah mengajukan permohonan yang buruk untuk siapa pun. Bahkan pernah, ketika malaikat gunung menawarkannya untuk membalas perilaku keji penduduk Thaif, Rasul tetap menolak dan berharap agar keturunan mereka yang beriman. Rasulullah ketika itu malah berdo’a, “Ya Allah, berilah hidayah dan petunjuk-Mu kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Kesembilan, tidak tergesa-gesa agar do’a itu dikabulkan. Rasulullah bersabda: “Akan dikabulkan bagi seseorang di antara kamu selagi tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata, ‘Saya telah berdo’a tetapi tidak dikabulkan’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk penyakit yang menghalangi terkabulnya do’a adalah tergesa-gesa, menganggap lambat pengabulan do’anya sehingga ia malas untuk berdo’a lagi.” Padahal bisa jadi antara do’a dan jawabannya memerlukan waktu 40 tahun, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. (Abu Lairs As-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin). Ibnul Jauzi berkata: “Ketahuilah bahwa do’a orang mukmin itu tidak akan ditolak, hanya saja terkadang yang lebih utama baginya itu diundur jawabannya atau diganti dengan yang lebih baik dari permintaannya, cepat atau lambat.” (Fathul Bari, 11/141).
Kesepuluh, berdo’alah kepada Allah di segala kondisi dan keadaan. Jangan hanya berdo’a di saat-saat sempit dan membutuhkan pertolongan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT banyak menyinggung sikap orang-orang yang hanya berdo’a dalam situasi kepepet. “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Qs. Yunus: 12).
Selain hal-hal di atas, tentu, soal terpenting lainnya adalah ikhlas dan hati yang bersih. Murnikan harapan dan keinginan dalam do’a untuk kebaikan mencapai ridha Allah. Ingat, kehadiran kita di muka bumi ini membawa misi ibadah dan untuk tunduk kepada Allah saja. Itulah tujuan akhir hidup seseorang yang sebenarnya. Maka, permohonan apa pun yang kita sampaikan, harus selalu dikaitkan dengan keridhaan Allah SWT. Wallahu’alam.
***
Dari Sahabat
beranda.blogsome.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar