Persiapan Pra Nikah bagi muslimah .
Seorang muslimah sholihah yang
mengetahui urgensi dan ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti
ingin dapat bersanding dengan seorang laki-laki sholih dalam ikatan suci
pernikahan. Pernikahan menuju rumah tangga samara (sakinah, mawaddah
& rahmah) tidak tercipta begitu saja, melainkan butuh
persiapan-persiapan yang memadai sebelum muslimah melangkah memasuki
gerbang pernikahan.
Nikah adalah salah satu ibadah sunnah yang
sangat penting, suatu mitsaqan ghalizan (perjanjian yang sangat berat).
Banyak konsekwensi yang harus dijalani pasangan suami-isteri dalam
berumah tangga. Terutama bagi seorang muslimah, salah satu ujian dalam
kehidupan diri seorang muslimah adalah bernama pernikahan. Karena salah
satu syarat yang dapat menghantarkan seorang isteri masuk surga adalah
mendapatkan ridho suami. Oleh sebab itu seorang muslimah harus
mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan
persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan. Hal tersebut
antara lain :
A. Persiapan spiritual/moral (Kematangan visi
keislaman) Dalam tiap diri muslimah, selalu terdapat keinginan, bahwa
suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki sholih, yang taat
beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam mengarungi
kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila
kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an bahwa wanita yang keji,
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita yang baik. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji
(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik...." (QS
An-Nuur: 26).
Bila dalam diri seorang muslimah memiliki keinginan
untuk mendapatkan seorang suami yang sholih, maka harus diupayakan agar
dirinya menjadi sholihah terlebih dahulu. Untuk menjadikan diri seorang
muslimah sholihah, maka bekalilah diri dengan ilmu-ilmu agama, hiasilah
dengan akhlaq islami, tujuan nya bukan hanya semata untuk mencari
jodoh, tetapi lebih kepada untuk beribadah mendapatkan ridhoNya. Dan
media pernikahan adalah sebagai salah satu sarana untuk beribadah pula.
B. Persiapan konsepsional (memahami konsep tentang lembaga pernikahan)
Pernikahan
sebagai ajang untuk menambah ibadah & pahala : meningkatkan pahala
dari Allah, terutama dalam Shalat Dua rokaat dari orang yang telah
menikah lebih baik daripada delapan puluh dua rokaatnya orang yang
bujang" (HR. Tamam).
Pernikahan sebagai wadah terciptanya
generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan
lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi
kedua orang tuanya.
Pernikahan sebagai sarana tarbiyah
(pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak
diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu
pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah
ke keluarga, maupun ke masyarakat.
C. Persiapan kepribadian
Penerimaan
adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul
bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi
langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang
senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu
ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbiasa mandiri, maka
pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam
akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.
Belajar untuk
mengenal (bukan untuk dikenal). Seorang laki-laki yang menjadi suami
kita, sesungguhnya adalah orang asing bagi kita. Latar belakang, suku,
kebiasaan semuanya sangat jauh berbeda dengan kita menjadi pemicu
timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut tidak di atur dengan
baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi
timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa
yang besar dalam menerima & berusaha mengenali suami kita.
D.
Persiapan Fisik Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan yang
memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri
sebagai suami ataupun isteri secara optimal. Saat sebelum menikah, ada
baiknya bila memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang
mempengaruhi masalah reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat
berfungsi baik, atau adakah penyakit tertentu yang diderita yang dapat
berpengaruh pada kesehatan janin yang kelak dikandung. Bila ditemukan
penyakit atau kelainan tertentu, segeralah berobat.
E. Persiapan
Material Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialistis, yaitu
hidup yang hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi bagi seorang
suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka
diutamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi fihak
wanita, adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah
bila suami berikhtiar untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki
kepadanya. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni'mat Allah? (QS.
16:72) " Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(QS. 24:32)".
F. Persiapan Sosial Setelah sepasang manusia
menikah berarti status sosialnya dimasyarakatpun berubah. Mereka bukan
lagi gadis dan lajang tetapi telah berubah menjadi sebuah keluarga.
Sehingga mereka pun harus mulai membiasakan diri untuk terlibat dalam
kegiatan di kedua belah pihak keluarga maupun di masyarakat.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu.
Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin,â€Q.S. An-Nissa: 36).
Adapun
persiapan-persiapan menjelang pernikahan (A hingga F) yang tersebut di
atas itu tidak dapat dengan begitu saja kita raih. Melainkan perlu waktu
dan proses belajar untuk mengkajinya. Untuk itu maka saat kita kini
masih memiliki banyak waktu, belum terikat oleh kesibukan rumah tangga,
maka upayakan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan
menghadapi rumah tangga kelak.
3. Pemahaman kriteria dalam memilih atau menyeleksi calon suami
- Utamakan laki-laki yang memiliki pemahaman agama yang baik
- Bagaimana ibadah wajib laki-laki yang dimaksud
- Sejauh mana konsistensi & semangatnya dalam menjalankan syariat Islam
- Bagaimana akhlaq & kepribadiannya
- Bagaimana lingkungan keluarga & teman-temannya
Catatan
: Seorang laki-laki yang sholih akan membawa kehidupan seorang wanita
menjadi lebih baik, baik di dunia maupun kelak di akhirat .
Sekufu
- Memudahkan proses dalam beradaptasi
- Tapi ini tidak mutlak sifatnya, karena jodoh adalah rahasia Allah
- Batasan-batasan siapa yang yang terlarang untuk menjadi suami (QS 4:23-24; QS2: 221)
4. Langkah-langkah yang ditempuh dalam kaitannya untuk memilih calon
a. Menentukan kriteria calon pendamping (suami ). Diutamakan lelaki yang baik agamanya.
b.
Mengkondisikan orang tua dan keluarga , Kadang ketidaksiapan orang tua
dan keluarga bila anak gadisnya menikah menjadi suatu kendala tersendiri
bagi seorang muslimah untuk menuju proses pernikahan. Penyebab ketidak
siapan itu kadang justru berasal dari diri muslimah itu sendiri,
misalnya masih menunjukkan sikap kekanak-kanakan, belum dapat
bertanggung jawab dsb. Atau kadang dapat juga pengaruh dari lingkungan,
seperti belum selesai kuliah (sarjana) tetapi sudah akan menikah.
Hal-hal seperti ini harus diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya, agar
pelaksanaan menuju pernikahan menjadi lancar.
c.
Mengkomunikasikan kesiapan untuk menikah dengan pihak-pihak yang
dipercaya Kesiapan seorang muslimah dapat dikomunikasikan kepada
pihak-pihak yang dipercaya, agar dapat turut membantu langkah-langkah
menuju proses selanjutnya.
d. Taâ’aruf (Berkenalan) , Proses
taâ’aruf sebaiknya dilakukan dengan cara Islami. Dalam Islam proses
taâ’aruf tidak sama dengan istilah pacaran. Dalam berpacaran sudah
pasti tidak bisa dihindarkan kondisi dua insan berlainan jenis yang
khalwat atau berduaan. Yang mana dapat membuka peluang terjadinya saling
pandang atau bahkan saling sentuh, yang sudah jelas semuanya tidak
diatur dalam Islam. Allah SWT berfirman “Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk†QS 17:32).
Rasulullah SAW bersabda : "Jangan
sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan,
melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". (Hadits Shahih Riwayat
Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Bila kita menginginkan pernikahan
kita terbingkai dalam ajaran Islami, maka semua proses yang
menyertainya, seperti mulai dari mencari pasangan haruslah diupayakan
dengan cara yang ihsan & islami.
e. Bermusyawarah dengan
pihak-pihak terkait , Bila setelah proses taâ’aruf terlewati, dan
hendak dilanjutkan ke tahap berikutnya, maka selanjutnya dapat melangkah
untuk mulai bermusyawarah dengan pihak-pihak yang terkait.
f.
Istikhoroh , Daya nalar manusia dalam menilai sesuatu dapat salah, untuk
itu sebagai seorang msulimah yang senantiasa bersandar pada ketentuan
Allah, sudah sebaiknya bila meminta petunjuk dari Allah SWT. Bila calon
tersebut baik bagi diri muslimah, agama dan penghidupannya, Allah akan
mendekatkan, dan bila sebaliknya maka akan dijauhkan. Dalam hal ini,
apapun kelak yang terjadi, maka sikap berprasangka baik (husnuzhon)
terhadap taqdir Allah harus diutamakan.
g. Khitbah , Jika
keputusan telah diambil, dan sebelum menginjak pelaksanaan nikah, maka
harus didahului oleh pelaksanaan khitbah. Yaitu penawaran atau
permintaan dari laki-laki kepada wali dan keluarga fihak wanita. Dalam
Islam, wanita yang sudah dikhitbah oleh seorang lelaki, maka tidak boleh
untuk dikhitbah oleh lelaki yang lain. Dari Ibnu Umar ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Janganlah kamu mengkhitbah wanita yang sudah
dikhitbah saudaranya, sampai yang mengkhitbah itu meninggalkannya atau
memberinya izin “(HR. Muttafaq alaihi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar