BATU bata putih setinggi kira-kira 60cm dari permukaan tanah mengelilingi gugusan candi Muara Takus. Arsitektur bangunan candi dalam genre Budha itu terlihat anggun dengan adanya stupa, yang merupakan lambang Budha Gautama.
Setiap menyambut perayaan Waisak, teras-teras candi selalu dipenuhi oleh ratusan umat Budha dari berbagai daerah bahkan ada yang datang dari negara tetangga untuk melaksanakan ritual. Teras-teras candi Muara Takus ini mirip dengan candi Borobudur. Hanya saja material yang digunakan oleh candi ini adalah batu bata merah yang berbentuk persegi panjang dan pipih.
Pengaruh kerajaan Sriwijaya disebut-sebut sangat dominan dalam bentuk bangunan candi yang memiliki puncak stupa sebagai lambang Budhistis. Dalam sejarahnya, Kerajaan Sriwijaya adalah suatu kerajaan maritim yang ibukotanya selalu berpindah-pindah dan sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Namun secara rinci gugusan candi muara takus dapat dilihat dari beberapa konstruksi bangunannya yang meliputi Candi Mahligai yang memiliki pondasi dasar berbentuk bujursangkar. Di atasnya terdapat pondamen bersegi delapan (astokoma) dan memiliki 28 sisi. Kemudian berdiri di atasnya sebuah menara setinggi 14.30m.
Pada 1860, penemu candi Muara Takus, Cornet De Groot mendapati teratai berganda dan patung singa dalam posisi duduk pada setiap sisi alasnya. Namun kini sudah tidak dijumpai lagi.
Dalam deretan wilayah Candi Muara Takus terdapat Candi Bungsu yang pada 1988 diougar dan selesai pada 1990. Ukurannya 7,50 x 16.28 meter dengan tinggi setelah dipugar menjadi 6,20 meter dari permukaan tanah. Dijumpai juga Candi Palangka yang juga sudah dipugar pada 1987 dan selesai pada 1989. Kemudian juga tedapat Candi Tua sebagai candi terbesar diantara candi-candi yang ada di sekitarnya.
Seorang tokoh agama Budha Riau, Sidarta menceritakan Muara Takus termasuk sebagai candi terbesar dan dikenal sebagai situs umat Budha dunia yang menjadi referensi.
Hal ini diketahuinya tidak sekadar dari catatan sejarah, namun dari banyaknya ia mendampingi Rinpoce dari Tibet (sekelas Lama atau disebut titisan Biku melalui reinkarnasi yang bisa menikah), yang selalu ingin melaksanakan ritual ibadah di Candi Muara Takus.
''Tidak lengkap ilmu kalau tidak beribadah ke Candi Muara Takus. Pada zamannya dulu, begitulah pesan dari mahaguru yang diteruskan secara turun menurun.
Candi Muara Takus pernah besar pada zamannya dan bisa jadi sebagai pusat kerajaan terbesar itu karena di Palembang tidak ditemukan candi, ujar Sidarta
src:http://www.mediaindonesia.com/mediat...asih-Terputus-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar