Jam sebelas. Saat paling naas. Narik dari Cililitan ke Rawasari pada jam segini paling malas. Paling banyak penumpang empat. Trayek paling banyak kendaraan.
Uang setoran belum pas. Jalan terus, boros. Mau ngetem, rejeki siapa tahu?
Pagi tadi, ketika jam sekolah dan jam kerja, mobil miring terus. Bolak-balik di trayek, penuh terus. Satu rit, dua rit, tiga rit, sampai pukul sembilanan penumpang masih lumayan banyak. Dari petak Tiga, Pisangan Lama, ada tiga anak SD naik. Mereka turun di Gronggongan, Rumah Sakit Persahabatan, 150 perak. Lumayan. Dari kebon Nanas naik ibu berambut brondlie, seperti biasa memakai sepatu hak tinggi. Turun di DKN, 200 perak, lumayan. Itu juga kalau tidak kegunting mobil lain.
Pukul satu nanti, penumpang mulai ramai lagi. Dari Gading Rayabakalan naik anak SMP 44 yang baru bubaran sekolah.Makhluk-makhluk bising ini turun di Gronggongan, dekat saja. Mereka malas jalan, mungkin karena panas. Dari pasar Kampung Ambon, mbok-mbok penjual sayuran baru saja menggulung dagangan. Paling banyak sembilan orang yang bisa kuangkut, karena mereka membawa bakul-bakul besar. Tetapi imbalannya, mereka mau bayar lebih dibandingkan penumpang lain, 250 perak seorang. Lumayan.
Sekarang baru pukul sebelas seperempat. Setoran masih kuranggo ceng, belum dihitung makan siang.
Empat puluh lima menit lagi pukul dua bela. Dari Cipinang Jayabakalan naik seorang wanita ramah dan cantik. Sudah lima kali ini dia naik mobilku. Pertama kalinya tentu cuma kebetulan. Tetapi setelah aku tahu dia biasanya menunggu kendaraan pukul dua belas, aku mengatur perjalanan agar bisa sampai di sana tepat waktu. Aku betul-betul memaki kalau sampai ada kendaraan lain mendahuluiku ’menjemput’ nya.
Ia mengatakan bahwa, dia adalah guru di SD Nol Tiga Pagi. Tinggalnya di Otista Dalam Tiga nomor tiga puluh tujuh. Namanya belum aku ketahui.
Sudah pukul sebelas lima puluh. Sepuluh menit lagi. Dia cantik, ramah, guru lagi. Aku cuma sopir kendaraan umum. Oplet. Akan tetapi, siapa bisa melarangku, jika kukatakan aku senang padanya? Aku senang mendengar suaranya. Senyum tulusnya. Caranya berbicara. Kejelian matanya. Harum prafumya. Ah....
Penumpang yang naik di Pasar Induk turun di Jagal. Mobilku kosong lagi. Setorang kurang 4.850 perak lagi, pfuih! Belakangan ini Tuan Hin, toke-ku mulai belagu. Mentang-mentang banyak sopir baru yang mau setor lebih banyak, setoranku kurang sedikit saja dia marah-marah.
Sudah pukul sebelas lima puluh lima. Mudah-mudahan tidak ada penumpang sampai ditempat dia menunggu. Aku mau tanya namanya. Nanti kalau dia marah? Masak ditanya nama saja marah? Harus kuperlihatkan bahwa maksudku baik. Dia pasti mengerti. Dia marah, tidak kelihatan judes sedikit pun. Kalau dia tinggi hati, masak dia mau ngobrol dengan supir oplet!
Sebelas lima puluh delapan. Dua menit lagi, seratus meter dari tempat dia biasa menunggu, empat orang menyetop mobilku.
”Pir, borongan ke Bekasi.”
”Berapa orang?”
” Enam.”
”Ada barang?”
”Cuma tiga tas ini.”
”Berani berapa?”
”Sepuluh ribu.”
Sepuluh ribu? Wah, ini berarti ada sisa uang setoran go ceng pekgo. Lumayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar